Minggu, 15 April 2012

Emansipasi Perempuan dari Segala Sisi


      Emansipasi selama ini selalu dipandang sebagai usaha-usaha yang dilakukan sekelompok orang yang haknya direndahkan atau dibatasi. Kata emansipasi sendiri sering kali digandeng dengan kata “wanita”. Tahukah kita bahwa pengertian emansipasi dengan arti filosofis dari kata “wanita” itu sendiri sangat bertolak belakang? Wanita berasal dari kata bahasa Jawa kuno “wani di tata” yang artinya “orang yang bisa diatur”. Selain itu, dalam bahasa Sanskerta, wanita terdiri  dari kata “wan” dan “ita” yang berarti “yang dinafsui”. Lain halnya dengan kata “perempuan” yang memiliki makna lebih positif namun tetap berasal dari kata Jawa kuno, yaitu “per-empu-an” yang artinya “ahli/mampu”, jadi perempuan berarti orang yang mampu melakukan sesuatu. Menurut pandangan saya, kata perempuan lebih cocok menjadi sambungan kata emansipasi, yakni : “Emansipasi Perempuan”.

      Jika berbicara tentang emansipasi perempuan di Indonesia, pasti di pikiran kita semua akan langsung tertuju kepada sosok pejuang emansipasi perempuan Raden Ajeng Kartini ( 1879-1904). Ibu Kartini-lah yang pertama kali menyuarakan issue tentang emansipasi perempuan yang paling lantang. Beliau menentang semua paradigma orang-orang pada saat itu terhadap perempuan. Jika membaca buku kumpulan surat0suratnya yang berjudul “Door Duiternis Tot Licht” ( Habis Gelap Terbitlah Terang ) pasti kita akan tersentak. Betapa pada saat itu seorang Ibu Kartini mampu berpikir jauh ke depan tentang kebenasan kaun perempuan yang bahkan mungkin tak pernah terpikirkan oleh perempuan-perempuan lain di Indonesia pada saat itu. Ibu Kartini dengan tegas menyatakan bahwa perempuan juga punya “suara”. Perempuan juga punya hak untuk “berdiri” sama rata dengan laki-laki. Perempuan juga bisa melakukan apa yang laki-laki lakukan. Perempuan juga berhak mendapatkan apa yang laki-laki dapatkan.



    “Gender” pada awalnya disamakan dengan “kodrat”, sebenarnya keduanya berbeda. Gender adalah peran yang dilekatkan pada perempuan atau laki-laki yang berkaitan dengan persoalan sifat, maupun norma-norma yang merepakan konstruksi social (hasil bentukan masyarakat) yang bisa berubah ; berbeda bentuk dan jenisnya dari ruang dan waktu, bisa dipertukarkan dan bisa disejajarkan. Sedangkan Kodrat pada hakikatnya adalah sesuatu yang diberikan kepada manusia sebagai pemberian dari Tuhan, yang bersifat alami dan lebih menyangkut soal kenyataan fisik dan tidak dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki. Kodrat ini tidak mungkin untuk diubah dan dipertukarkan karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda satu sama lain. Seperti misalnya alat kelamin dan payudara, kodrat untuk melahirkan bagi perempuan, dan lain sebagainya. Kalaupun kodrat dapat diubah atau ditukar antara perempuan dan laki-laki, maka tidak akan dapat berfungsi dan menjalankan peranan fisik seperti yang diberikan oleh Tuhan.
      Keadaan masyarakat sejak jaman dahulu yang serba menyudutkan perempuan menjadi cambuk bagi Ibu kartini untuk mencari tahu sebab dari ketidakadilan itu. Ibu Kartini kemudian mulai menulis surat kepada sahabat-sahabatnya. Dituangkannya segala uneg-uneg nya di dalam surat-suratnya. Hatinya sangat pilu karema hanya bisa menjadi seorang ‘Raden Ayu’.

     Lalu mari kita lihat keadaan pepempuan di jaman sekarang. Semuanya mengamini emansipasi namun kebanyakkan  salah kaprah tentang arti emansipasi itu sendiri. Pertama, perempuan sering menggunakan emansipasi sebagai ‘tameng’ untuk bebas dari kodratnya sebagai perempuan yaitu hamil dan melahirakan. Begitu juga dengan perannya sebagai seorang ibu dan istri di keluarga. Para perempuan ini menganggap bahwa “sejajar” berarti harus benar-benar “sama”, antara laki-laki dan perempuan, tanpa memperhatikan bahwa ada hal-hal yang sudah menjadi kodrat perempuan yang tidak bisa ditinggalkan. Di lain kesempatan, para perempuan sering “melemahkan” dirinya sendiri ketika ada hal-hal yang bisa dikerjakannya sendiri tapi untuk mengerjakannya lebih sering meminta bantuan orang lain (laki-laki). Saya pernah mendengar seorang dosen (laki-laki) mengeluh ketika ada sorang dosen perempuan meminta bantuannya untuk mengganti ban mobil. Dosen saya yang laki-laki berkata, “Kalo soal lain minta emansipasi, kalo ganti ban gak bisa ya panggil montir dong. Jangan yang nampak saja yang direpotkan.”

     Dari perkataan dosen saya yang laki-laki itu saya kemudian berpikir, memang sangat sering hal itu terjadi dan saya pun kadang seperti itu. Perempuan sering memandang emansipasi hanya dari satu sisi. Padahal seharusnya kita memandang emansipasi dari berbagai sisi sehingga tidak menjadi bahan sindiran bagi kaum adam. Kita harus jeli, bahwa perempuan pada dasarnya punya banyak kelebihan dibanding laki-laki. Kita bisa memikirkan banyak hal sekaligus. Kita lebih sensitif dan perasa. Kita lebih teliti, dan banyak kelebihan lainnya. Jadi jangan sampai kita ‘dijengkali’ oleh laki-laki. Kita bisa seperti mereka. Bahkan lebih. Lihat saja di masyarakat, lebih banyak ‘single parent’ perempuan daripada laki-laki. Karena apa? Laki-laki bahkan sering tidak sanggup untuk melayani dirinya sendiri tanpa bantuan dari perempuan. Untuk itu, marilah kita para perempuan Indonesia terus membangun diri dan bangsa dengan tidak juga melupakan kodrat kita sebagai perempuan. Marilah kita peringati hari kelahiran Ibu Kartini tanggal 21 April nanti dengan kebulatan tekad. Ibu Kartini saja bisa, kenapa kita tidak? Begitu juga dengan laki-laki. Mulai saat ini, hormatilah perempuan. Baik yang sebaya, yang lebih muda, apalagi yang lebih tua. Karena dengan menghormati perempuan sesungguhnya kita telah menghormati ibu kita sendiri. Selamat Hari Kartini Bagi Seluruh Perempuan Indonesia!


                                                                     
Oleh : Rahmadina Agusti ( http://www.facebook.com/home.php?ref=hp#!/dinaswaying )

Rabu, 04 April 2012

HMI dan Mahasiswa

  Himpunan mahasiswa Islam yang disingkat dengan HMI sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada 14 Rabbiul Awal 1366 Hijjria bertepatan pada tanggal 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta. Landasan  dari Nama HmI dijelaskan secara terperinci yaitu :

  • Himpunan : sekumpulan Individu atau Masyrakat yang tidak memandang perbedaan yang terlalu berarti, apakah dia Islam NU, Muhammadiyah dan sebagainya
  • mahasiswa : dibuatnya huruf m yang kecil membedakan maha dengan Mahanya Tuhan. jadi mahasiswa identik dengan kaum muda yang mempunyai semangat juang yang tinggi, tidak bepikir pragmatis, tidak berpokiran strutural, serta politik oriented. tepatlah jadinya istilah "Muda Idealis Tua Pragmatis.
  • Islam : menjelaskan bahwa yang yang berhimpunan di organisasi ini adalah mahasiswa yang menganut Agama Islam. Karna Islam yang menjadi Motivasi dan Orientasi bagi HmI atas keyakinan dari kebenaran yang diajarkan oleh Agamanya
    Faktor yang memunculkan Ide atau kebutuhan didirikannya HmI di latar belakangi oleh tiga kondisi yang terjadi, baik kondisi mahasiswa indonesia, kondisi negara, dan kondisi Umat Islam.
  • Masalah yang terjadi di tingkatan mahasiswa sebelum berdirinya HmI, saat itu sebagian besar mahasiswa berfikir PMY perserikatan Mahasisma Yogyakarta sudah tidak lagi memberikan cukup wadah untuk kegiatan yang bersifat keagamaan. Hal ini pun bukan hanya dari mahasiswa yang beragama Islam, namun mereka juga yang memegang kuat ideologi keagamaan.
  • Krisi kesinamubungan yang sempat terjadi di jenjang perguruan tinggi di sebabkan oleh sebagian besar mahasiswa di bawah pengarus pemerintah yang mengalami polarisasi karna adanya pemikiran yang bertolak belakang atas pendirian di masing-masing partai yang ada. Akibatnya memberikan peluang bagi belanda untuk Memperkuat bagian persenjataannya untuk melawan Indonesia kembali
  • Kondisi Pemahaman keislaman pun di tingkatan masyarakat banyak yang masih memiliki paham-paham mistis, yang sangat bertolak belakang dengan ajaran Agama Islam.
    Berdirinya HmI juga sempat di tentang di masa PKI. Bahkan sampai ada yang ingin membubarkan HmI tetapi hal itu tidak terjadi. malah di masa orde baru merupakan masa-masa kebangkitan HmI yang beperan sebagai pelopornya. HmI pun memberikan sumbangsi serta partisipasinya dalam era awal pembangunan. seperti partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan, partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran dan pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Akhirnya pada masa reformasi pun HmI mulai melaksanakan dengan memberikan gagasan, menyampaikan pandangan serta mengkritik pemerintah.

    Dalam anggaran dasar HmI, pasal delapan dikatakan "HmI berfungsi sebagai organisasi kader". maka perkaderan adalah hal yang terpenting dalam organisasi ini. adapun ciri-ciri dari kader HmI itu sendiri terdiri atas lima karakteristik yang saling menguatkan dan berhubungan satu sama lainya, antara lain :
  1. Consceptor
  2. Problem solving
  3. Sodarity making
  4. Administrator
  5. Negarawan 
   Dilaluinya fase-fase yang terjadi kini HmI pun terbagi menjadi dua, yaitu HmI DIPO (Diponogoro) yang lebih ke intelektual dan MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) cendrung lebih ke Agamaan. Hal ini terjadi adanya kebijakan bahwasanya setiap organisasi diharuskan berazaskan tunggal PANCASILA. Jadi, dengan adanya kebijakan ini, terjadinya perbedaan antara kader HmI ada yang menentang dan ada pula yang setuju, HMI yang semula hanya berazaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap mempertahankan azas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden Soeharto mengubah azasnya menjadi Pancasila. Kubu yang tetap mempertahankan azas Islam dalam HMI kemudian menamakan diri dengan Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi disingkat HMI-MPO. Sedangkan kubu yang mengikuti perintah Presiden Soeharto sering disebut HMI DPO, dikarenakan Sekretariat Pengurus Besarnya yang berada di Jalan Diponegoro.