Curah hujan yang tinggi sejak hari Senin,
14 Januari 2013 akhirnya berujung banjir pada Kamis 17 Januari 2013. Hingga
artikel ini diturunkan (Minggu, 20/1) air masih menggenangi sejumlah daerah di
ibukota Jakarta. Sampai 27 Januari 2013 pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan
status tanggap darurat bagi bencana banjir yang melanda ibukota. Info dari
Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat hingga hari ini ada 35
kecamatan yang menjadi lokasi banjir di Jakarta. Adapun jumlah titik tersebut
merata di 5 wilayah Jakarta.
Sebenarnya apa yang menyebabkan banjir
besar kembali terjadi di ibukota? Menurut pakar air dari Universitas Indonesia
(UI), Firdaus Ali, yg dilansir dari www.kompas.com
banjir salah satunya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi sejak awal bulan
sehingga kondisi tanah menjadi jenuh dan proses penyerapan air tanah menjadi
tidak maksimal. Selain itu kondisi drainase Jakarta yang buruk pun memperparah
keadaan.
Hingga saat ini korban tewas telah mencapai
19 orang. Ada yang tewas karena kesetrum, tenggelam, terjebak di basement
gedung pencakar langit, dan meninggal di rumah sakit lantaran sudah kritis lalu
rumah sakit mengalami mati listrik sehingga nyawa pasiennya tidak tertolong
lagi.
Sungguh memprihatinkan. Jakarta dengan
segala keeksotisannya luluh lantak seketika ketika banjir menyerang. 19 orang meregang
nyawa. Puluhan ribu masyarakat meninggalkan rumahnya yang terendam banjir lalu
mengungsi di camp camp pengungsian. Seluruh aktivitas terhambat dan menyebabkan
kerugian triliyunan.
Greenomics Indonesia memperkirakan bahwa
kerugian yang terjadi akibat banjir mencapai Rp 15 Triliyun. Kondisi tersebut
didasarkan atas asumsi kedaruratan Jakarta akibat banjir dalam masa tanggap
darurat selama 10 hari (17-27 Januari 2013) yang sudah barang tentu akan
berdampak negatif pada sektor-sektor ekonomi dan perekonomian berbasis
masyarakat.
Siapa yang salah atas peristiwa ini? Saling
tuding pun terjadi. Presiden mengatakan bahwa ketidakdisiplinan warga yang
membuang sampah ke sungai adalah penyebabnya. Sementara sebagian warga
masyarakat menganggap ketidakseriusan pemerintah dalam membangun infrastruktur
dan pengerukan sungai lah yang menjadi alasan. Sebenarnya hal ini tidak perlu
terjadi. Saling tuding seperti ini hanya akan menambah sentimen antar warga
masyarakat kepada pemerintah.
Yang menjadi sorotan masyarakat adalah
gubernur DKI Jakarta yang baru beberapa bulan yang lalu dilantik, Joko Widodo
atau yang akrab disapa Jokowi. Pada banjir kecil yang sempat terjadi pada akhir
Desember lalu di ibukota, Jokowi mengatakan bahwa banjir yang telah menjadi
momok bagi warga ibukota sejak puluhan tahun yang lalu menjadi prioritas
utamanya dalam memperbaiki ibukota. Namun ternyata tidak sampai 3 minggu
setelah banjir kecil tersebut, banjir besar terjadi. Lalu salahkan Jokowi? Dinas
PU DKI Jakarta sejak awal Januari sudah gencar memperbaiki sistem drainase.
Tapi apa mau dikata, curah hujan yang semakin tinggi tak sanggup lagi
ditanggulangi oleh sungai, bendungan, kanal, maupun drainase-drainase yang
telah diupayakan pemerintah.
Pada hakikatnya banjir merupakan masalah
umum. Tanggung jawab atas terjadinya banjir tidak hanya terdapat di pundak
pemerintah provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat. Saling tuding hanya
akan membuat banjir terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Usulan Jokowi
untuk membangun normalisasi sungai ciliwung dan waduk Ciawi dan Cimanggis yang
disampaikan dihadapan Presiden dan juga Menteri pada pertemuan di camp
pengungsi di Jakarta Timur pada hari ini juga tidak akan ada artinya jika
setelah pembangunan selesai masyarakat kembali memadati sungai dengan sampah
dan pembangunan pemukiman di DAS. Jadi seyogyanya memang masyarakat dengan
pemerintah harus terus saling support jika ingin persoalan banjir ini tidak
terulang lagi dikemudian hari.
Bagi kita yang tidak tinggal di wilayah DKI
Jakarta, ada baiknya kita selalu bersyukur kepada Tuhan bahwa Medan kota yang
kita cintai tidak perlu menghadapi masalah sepelik ibukota Jakarta. Namun
demikian, pengalaman merupakan guru terbaik. Pengalaman warga Jakarta dalam
menghadapi banjir hendaknya kita jadikan momentum untuk semakin disiplin
sebagai warga masyarakat. Budaya membuang sampah di sungai harus kita hapus
serta mari kita galakkan penanaman pohon sehingga tanah tempat kita berpijak
saat ini akan semakin baik menyerap air di kemudian hari.
Oleh : Rahmadina Agusti (http://www.facebook.com/dinaswaying?fref=ts)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar